Bismillaahirrohmaanirrohiim, Assalaamu’alaikum warohmatullaah
wabarokaatuh.
Panjatkanku syukur atas segala
nikmat-Mu Ilahi Robbi, hingga saat ini ku nikmati semua yang Kau beri. Nikmat
sehat rohani dan jasmani, nikmat Iman dan islam, Ibu dan ayah yang mencintai,
saudara yang mengasihi, keluarga yang menyayangi, teman-teman yang memotivasi,
dan masih banyak lagi hal lainnya dari semua itu. Sungguh, nikmat-Mu tak dapat
terhitung "Min Haitsu Laa Yahtasib".
Teringat dulu
sewaktu saya masih sekolah di Madrasah Diniyah Awwaliyah (MDA), kepala sekolah
meminta saya untuk berpidato menyampaikan point-point penting mengenai Isra’
Mi’raj. Tentunya pada waktu itu saya masih sangat polos dan agak pemberani
menyampaikan pidato dengan modal hapalan teks 2 lembar folio.
Saya menyampaikan
apa yang saya ingat pada teks tersebut. Karena memang dulu didikan guru MDA
saya seperti itu, setiap tahun kami diberikan teks pidato mengenai ajaran Islam
dari mulai rukun Sholat, rukun Iman, dan sebagainya.
Pidato disampaikan ketika
acara kenaikan kelas dari mulai nol kecil sampai kelas VIB, ya sekitar 8
tahunan yang sifatya wajib. Dengan tradisi seperti ini kami menjadi lebih
berani dalam berbicara di depan teman-teman, kakak kelas, guru, orangtua murid,
dan para penonton lainnya sampai para penjual makanan di pinggir jalan.
Karena
memang acara dilaksanakan di tempat terbuka dengan panggung yang lumayan bagus
dalam waktu 7 hari atau seminggu pada setiap malam. Dan setiap kali acara
kenaikan kelas selalu ada penilaian dari dewan juri, dan Alhamdulillah saya
selalu menang juara 1, 2, atau 3.
Alhamdulillah dengan hidayah dan
maghfiroh Allah SWT saya terlahir dari keluarga yang cukup mengenal agama Islam
dengan baik dan didikan yang baik pula. Sehingga saya mampu sedikitnya memaknai
dan memahami ajaran Islam yang dibawa dan diajarkan oleh orangtua.
Di dalam kondisi
dan keadaan jaman seperti ini kita memang banyak perubahan yang cukup jauh dari
kebiasaan-kebiasaan di jaman sebelumnya. Disadari ataupun tanpa disadari banyak
tradisi baik yang seharusnya dipertahankan dan dilakukan improvisasi kini
menyusut bahkan hilang sama sekali.
Hal ini disebabkan banyak factor internal
maupun eksternal yang memicu. Guru saya di Pondok sering berkata bahwasanya
kita sudah mulai hidup di jaman jahiliyah kembali. Beliau berkata seperti itu
sebagai bentuk peringatan bahwasanya kita jangan gegabah dengan jaman yang
sedang dilalui.
Banyak sekali tanda-tanda
yang begitu terlihat saat ini sehingga kita menyimpulkan seperti itu.
Diantaranya, kita selaku umat muslim merasa bahwa dosa yang sering dilakukan
atau sering terlihat menghukuminya sebagai hal yang ’wajar’ karena merasa hal
itu sudah menjadi trend. Padahal sebenarnya kita tahu bahwa Al-Qur’an dan
haditslah yang menjadi pedoman dan pegangan hidup. Namun seringkali kita lupa
atau pura-pura lupa mungkin dengan petunjuk yang sudah sejak dulu Allah
berikan. Dan masih banyak lagi hal lain yang perlu kita renungi bersama.
Isra’ Mi’raj merupakan
hadiah yang Allah berikan kepada Nabi Muhammad SAW. Isra Mi’raj terjadi pada tahun pertama
sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah
al-Manshurfuri, Isra Mi’raj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.
Kedua kata inilah memiliki arti yang berbeda namun saling berkesinambungan.
Dalam Isra, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam
“diberangkatkan” oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu
dalam Mi’raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan
ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini
Beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan salat lima
waktu.
Bagi umat Islam, peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang
berharga, karena ketika inilah salat lima waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi
lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratul Muntaha seperti ini. Walaupun
begitu, peristiwa ini juga dikatakan memuat berbagai macam hal yang membuat
Rasullullah SAW sedih. Karena pada saat itu Allah menunjukkan kekuasaan-Nya
dengan memperlihatkan sisi Syurga dan Neraka berikut ciptaan-Nya yang sedang
merasakan kenikmatan syurga dan siksaan neraka.
Ada beberapa point
penting yang harus kita petik dari kejadian dan mukjijat ini:
1. Tauhid
Hanya Allah SWT lah yang mampu memberjalankan Rasul-Nya
hingga ke Sidratul Muntaha, Dia berkuasa atas apa yang dikehendaki, segala
petunjuk dia perlihatkan dengan jelas dan tidak ada keraguan. Allah mampu
menciptakan Surga dengan keindahannya dan Neraka dengan siksaannya. Allah
menjanjikan tempat persinggahan terakhir
yang pasti akan dialami dan terjadi pada siapa saja makhluk-Nya yang
beriman dan tidak. Sungguh luar biasa, tiada yang mampu menciptakan ini semua
kecuali Allah Yang Maha Esa. Sebenarnya dengan kejadian inilah kita wajib
mengimani tiada keraguan bahwasanya Allah telah memperlihatkan petunjuk sebagai
peringatan kepada kita selaku ciptaan-Nya.
2. Ma’rifat
Masih berkaitan dengan point pertama, setelah kita
mengetahui dan meyakini seharusnya kita juga mengenal Allah SWT lebih jauh
lagi. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, mengikuti ajaran-Nya, menjauhi
segala larangan-Nya dan mengerjakan apa yang diperintahkan. Lalu, bagaimanakah
jalan kita agar senantiasa mengenal Allah? Yaitu dengan membaca Al-Qur’an serta
hadits dan memahaminya. Karena dengan begitu kita tidak hanya disebut sebagai
orang yang ‘Taqlid’. Karena kita masih bisa mengupayakan untuk mencari dan terus
mencari serta menggali ilmu agama yang menjadi jembatan untuk mengenal Allah.
3. Fiqih
Telah kita ketahui bersama bahwasanya Allah SWT menggangkat
Rasul ke Sidratul Muntahaa, Allah juga memberikan wahyu yaitu perintah Shalat 5
waktu. Dengan begitu wahyu telah sampailah kepada kita dan wajib kita
laksanakan. Dengan kewajiban Shalat inilah Allah juga memberikan aturan berupa
syarat dan rukun Shalat. Dengan syarat dan rukun yang terpenuhi, maka sahlah
shalatnya. Dan ketika ada sebagian syarat dan rukun yang tertinggal maka bisa
saja shalatnya tidak sah. Dengan demikian, kita punya cara bagaimana
mengabdikan diri kepada Allah, agar pengabdian kita diterima secara
keseluruhan.
4.Tasawuf
Seperti pada penggalan
ayat Al-Qur’an: “Innashshalaata tanhaa ‘anil fahsyaai wal munkar”. Sesungguhnya
Shalat akan mencegah diri kita untuk berbuat keji dan kemungkaran. Lalu shalat
yang bagaimana? “Alladziina hum fii Shalaatihim Khoosyi’uun” Yaitu orang-orang
yang khusyuk dalam shalatnya.
Shalat yang khusyuk memang terasa sulit bagi kita
yang masih awam dan banyak melakukan kemaksiatan. Tapi sebenarnya belajar dan
melatih kekhusyukan bisa dilakukan ketika kita shalat dari waktu ke waktu.
Sering bermuhasabah diri dan menyesal atas segala apa yang kita perbuat.
Karena
seringkali hati yang kotor tidak mendatangkan kekhusyukan dalam shalat.
Kebanyakan orang shalat hanya sebatas menunaikan kewajiban saja, tanpa
menghayati dan menikmati apa yng dikerjakan dan dilafadzkan pada waktu shalat.
Yang teringat hanya bayang-bayang duniawi yang terus mengisi pikiran, urusan
ukhrowi seringkali kita melupakan. Jadi dapat disimpulkan bahwa komponen shalat
tidak hanya sebatas syarat dan rukun, tetapi juga rasa menghadirkan Allah
dihadapan kita. Sehingga tumbuh perasaan takut kepada-Nya.
Arti tasawuf itu sendiri
adalah membersihkan hati dan anggota-anggota lahir daripada dosa-dosa,
kesalahan dan kekhilafan.
- Bersih di dalam:
Maksudnya membersihkan hati daripada riyak, ujub, pendendam dan lain-lain
mazmumah, lebih-lebih lagi daripada syirik.
- Bersih di luar:
Maksudnya bersih daripada membuat yang haram, berpakaian yang haram,
bercakap yang haram, menjaga mata, telinga daripada melihat dan mendengar
yang haram serta lain-lain.
Dengan keempat point tersebut saya kira
cukup mewakili kandungan dan arti dari Mukjijat yang diberikan kepada Nabi
Muhammad SAW pada Isra’ Mi’raj yang dilaluinya. Selebihnya saya mohon maaf atas
kekurangan dan kesalahannya.
Kemudian selanjutnya saya mulai
berbicara mengenai ‘Implementasi Isra’ Mi’raj dalam Lingkup Akademisi’. Cukup
membuat saya sulit juga untuk berpikir kesana, namun saya mencoba untuk
mengungkapkan dan mengutarakan apa yang ada di benak saya ini.
Implementasi merupakan penerapan,
pelaksanaan, atau mungkin lebih ke aplikasi dari Isra’ mi’raj itu sendiri.
Setelah tadi saya merumuskan keempat point dari kandungan yang tersirat dari
Isra’ Mi’raj, saya kira keempat point tersebut harus masuk dan mencakup ke
dalam bahasan ini. Kalau dalam lingkup akademisi sendiri mungkin lebih mengacu
pada tatanan, kebiasaan, dan hal-hal yang terkait dengan bidang akademik
dan lebih cenderung kepada para
mahasiswa sebagai subjeknya.
Dari kata mahasiswa itu sendiri
tentunya kita mengetahui bahwa sebenarnya kita dianggap sebagai orang yang maha
tahu, maha bisa, maha cerdas, dan lain sebagainya.
Dengan pemikiran dan jalan
yang dilalui oleh segenap mahasiswa mampu mewujudkan jembatan sekaligus
penyokong berdirinya bangsa, agama, dan negara.
Disini kita tidak memisahkan
antara peran pentingnya agama dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa.
Keduanya saling berkesinambungan dan tidak dapat dipisahkan.
Patutnya kita
mempunyai visi: “Membangun insan paripurna yang berakhlak mahmudah dan
berwawasan ilmiah serta memiliki daya saing dalam menghadapi era globalisasi,
dengan ilmu amaliyah dan amal ilmiah”.
Dengan
begitu kita mempunyai rancangan dan penjabaran untuk mengimplementasikannya.
Pertama, kita dituntut untuk memiliki akhlak yang mahmudah. Seperti dalam
haditsnya Rasul dikatakan: “Innamaa bu’itstu liutammima makaarimal akhlaaq”.
Mahasiswa tidak sebatas maha tahu dan maha cerdas, tetapi juga berikut maha
memiliki akhlaq yang baik. Dengan akhlaq yang baik maka dengan mudahnya kita
mendapatkan kepercayaan untuk ikut bergelut di era globalisasi ini.
Terkadang
masyarakat tidak percaya dengan apa yang mereka lihat selintas dari luar yang
menceminkan akhlak seseorang. Meskipun kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki
lebih bisa meyakini, tetapi pandangan masyarakat akan berbeda sesuai dengan
sudut pandang mereka.
Apalagi di jaman yang serba hati-hati dan waspada ini,
banyak para pemuda-pemudi yang memperlihatkan kebobrokan moralnya. Masyarakat
tentu sangat meragukan kemampuannya sebagai generasi penerus bangsa yang dapat
menyokong negara. Agar tidak berkelanjutannya kebiasaan buruk dikalangan pemuda,
maka dari itu diperlukan adanya penanggulangan yang bertahap. Dimulai dari hal
terkecil, diri sendiri dan sekarang.
Walau
sebenarnya kita tidak berada pada Negara Islam yang memiliki hukum Islam, namun
apa salahnya kita membatasi diri untuk tetap berada pada koridor agama.
Seringkali kita menyalahkan pemerintah dan mengkritisi mereka dengan kasar
tanpa mengetahui sebab yang jelas. Memang, pemerintahlah yang memimpin Negara
dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap segala sesuatu yang terjadi.
Pemerintah bukan tidak tahu keadaan masyarakat saat ini seperti apa dan
bagaimana. Tapi entahlah mungkin karena kesibukan, kemalasan, ketidak pedulian,
atau tidak merasa bertanggung jawab sehingga Negara menjadi terbengkalai
seperti ini. Kita juga tidak mengetahui seberapa besar upaya yang dilakukan
pemerintah. Meskipun kita tahu kesejahteraan masyarakat ada di tangan pemimpin.
Tapi
pada kenyataannya kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah saja, sudah
waktunya tanggung jawab datang kepada kita sebagai generasi penerus bangsa.
Bagaimana caranya membangun Negara yang ideal, aman, sentosa, dan sejahtera.
Dengan mengikuti organisasi di kampus misalnya atau di lembaga lainnya kita
bisa lebih punya tenaga dan dengan mudah menyampaikan aspirasi atas nama
mahasiswa.
Dengan organisasi bukan berarti kewajiban utama hilang sebagai
pelajar, tetap yang harus diutamakan adalah akademik dan organisasi adalah
tempat menyalurkan kemampuan utuk berkontribusi nyata. Apa yang telah
didapatkan di bangku perkuliahan, baiknya kita mengajak teman-teman dari
berbagai disiplin ilmu untuk berdiskusi dan memberikan pandangan terhadap isu
apa yang tengah diperbincangkan lalu mencari solusi bersama.
Setelah
itu kita mengimprovisasi hal layak yang telah disetujui dan mengangkatnya ke
forum. Namun, sepertinya yang saya utarakan masih terlalu umum dan ngambang.
Ringkasnya begini, kita membentuk sebuah kelompok studi dari berbagai disiplin
ilmu. Tapi, disarankan tidak banyak anggota dalam 1 kelompok. Karena hal itu
akan membuat tidak efisien dan hanya beberapa orang saja yang aktif, justru
dengan banyak kelompok kita akan semakin banyak suara dan hasil yang
didapatkan.
Tentunya harus ada yang memimpin diskusi dan sebelumnya ada
pembekalan yang diberikan oleh orang akademisi yang handal serta berkepribadian
islami. Forum ini bentuknya islami dan ilmiah, sehingga bisa secara bersamaan
kita mendapatkan keduanya.
Religious berarti kita punya batasan yang mengacu
pada aturan agama, misalnya dalam penelitian A kita tidak boleh menggunakan
bahan formalin yang dapat mengakibatkan kerugian, dan lain sebagainya.
Kembali
pada visi kita tadi di atas, “…berwawasan ilmiah serta memiliki daya saing
dalam menghadapi era globalisasi”. Penjabarannya, kita dituntut untuk lebih
bisa update mengenali ilmu yang sedang berkembang saat ini. Mau itu di bidang
politik, sains, dan sebagainya. Karena tadi, mahasiswa itu dianggap maha tahu.
Masyarakat tidak akan melihat dari jurusan apa kita lulus, tapi umumnya mereka
menilai sejauh mana kita paham dan ingin berkontribusi. Masih pada kelompok
studi tadi, sebagai umat muslim patutnya mengetahui keaadaan anak muda saat
ini.
Di kota-kota besar khususnya sudah terlihat jarang sekali diadakan
pengajian untuk semua kalangan, mau itu anak-anak, pemuda-pemudi, ibu-ibu
ataupun bapak-bapak. Tradisi ini mulai menyusut dan bahkan di kampung-kampung
kecil pun sudah makin jarang.
Mengapa ini bisa terjadi? Saya kira banyak pemicu
yang menyebabkan kendornya budaya mengaji. Bisa saja karena makin berkurangnya
para tokoh masyarakat artinya SDM yang kurang
baik, mungkin saja semua orang lebih memilih menjadi professor ketimbang
menjadi guru ngaji yang gajinya cap ”hatur nuwun”, mungkin juga guru ngaji
banyak tapi yang mau mengaji lebih memilih untuk jalan-jalan dan menghabiskan
waktu di mall ketimbang mengaji, dan mungkin banyak kemungkinan lainnya yang
bisa terjadi.
Dengan keadaan seperti ini, kita mempunyai celah untuk masuk dan
berperan sebagai pengajar, minimal mengajarkan anak-anak kecil shalat dan
membaca Al-Qur’an. Bisa di TPA, MDA, atau lembaga lainnya sekitar kampus dengan
persetujuan pengurus lembaga. Namun tidak setiap pekan kita terus yang
mengajar, tapi kita coba membagi jadwal pengajar dengan teman kelompok secara
random.
Yang
sering saya dengar di isu masyarakat setempat, jika semua orang lebih memilih
untuk kuliah dan menyibukkan diri di tempat kerjanya, lalu siapa yang akan
menjadi penerus para Kyai?.
Tapi kalimat tersebut seakan memisahkan hak dan
kewajiban antara orang yang lebih memilih kuliah dan mengaji. Sepertinya tidak
fair jika kita mengartikannya seperti itu.
Meskipun kita mahasiswa dan akan
lulus mendapatkan gelar sarjana, tapi bukan berarti telah gugur kewajiban kita
sebagai pengajar agama. Justru dengan gelar sarjana itulah yang nanti akan
menjadi perhatian keluarga dan masyarakat, mereka menunggu apa sih yang akan
kita berikan.
Apalagi di era globalisasi ini, persaingan semakin ketat,
orang-orang berebut mendapatkan kursi PNS, perawat, dokter, dan sebagainya.
Lalu, yang akan memperebutkan kursi guru siapa? Mengapa kita tidak berusaha
untuk berpikir inovatif dan kreatif saja, boleh saja orang lain memperebutkan
itu semua. Lah kita? Harusnya berbeda dong, kita bangun lembaga pendidikan
karakter untuk anak-anak kecil secara bertahap, terapkan dan kembangkan ilmu
yang telah kita dapatkan di dunia perkuliahan, manfaatkan semaksimal mungkin.
Tidak usah muluk-muluk, pertama kita ajarkan mengaji kepada angota keluarga,
ajarkan mereka shalat. Ketika oranglain tahu bahwa kita mempunyai kemampuan
seperti itu, kepercayaan masyarakat akan semakin tumbuh, pintu rejeki akan
terbuka lebar. Insya allah…
Lalu,
peran kita sebagai akademisi mana? “….dengan ilmu amaliyah dan amal ilmiah”.
Ilmu, pengetahuan, dan wawasan yang kita dapatkan di dunia kuliah menjadi modal
kita dalam bidang apapun, pengusaha, pendidik, pengajar, peneliti, dan
sebagainya.
Semuanya bisa berkolaborasi menjadi satu dengan banyak unsur. Ilmu
yang didapatkan diamalkan sekemampuan kita, dan amal yang kita lakukan patutnya
sesuai dengan batasan agama yang menjadi pedoman kita.
“Jangan pernah merasa
rugi dengan kebaikan yang kita berikan untuk oranglain, justru dengan banyak
menolong akan banyak pertolongan yang datang”.
Alhamdulillaahirobbil ‘Aalamiin…